Drama Seru: Racun Yang Mengalir Di Kata “Selamat Tinggal”
Hujan Jakarta bulan November adalah nostalgia yang basah. Seperti linimasa yang terus bergulir, kenangan tentang Arya kembali mengalir setiap kali tetes air menimpa kaca jendela kafe. Aroma kopi Arabika yang pahit terasa lebih pahit lagi, serupa dengan rasa yang tertinggal setelah kata "Selamat Tinggal" meluncur dari bibirnya.
Dulu, cinta kami adalah playlist yang terus berputar di Spotify, notifikasi yang selalu dinanti, dan stiker-stiker LINE yang berisi janji-janji bahagia selamanya. Kami bertemu di dunia maya, tumbuh bersama dalam mimpi-mimpi start-up dan deadline yang menumpuk. Kami berbagi screenshot lucu, meme menggelikan, dan sisa chat yang tak terkirim, berisi kata-kata yang terlalu berani untuk diucapkan.
Arya, dengan senyumnya yang teduh dan mata yang menyimpan badai, adalah pelabuhan yang kutemukan setelah berlayar terlalu lama di lautan swipe dating. Dia adalah matahari yang selalu menyinari feed Instagram-ku, filter yang membuat semua tampak lebih indah.
Tapi matahari pun bisa padam.
Kehilangan itu samar-samar, seperti sinyal Wi-Fi yang melemah di tengah percakapan penting. Arya mulai sering menghilang. Notifikasinya berkurang. Balasannya singkat, dingin, dan penuh dengan alasan yang terlalu sempurna untuk dipercaya. Kami mulai berkomunikasi melalui story Instagram, kode-kode terselubung yang hanya kami berdua yang mengerti.
Aku menggali, mencari petunjuk di antara likes dan komentar. Aku menjadi detektif amatir, menyelami labirin digital yang dia ciptakan. Dan aku menemukan rahasia. Rahasia yang disembunyikan di balik akun fake dan percakapan terenkripsi. Rahasia tentang dia dan masa lalunya yang kelam. Rahasia yang menjelaskan mengapa senyumnya selalu menyimpan kesedihan.
Kemarahan membakar, menyulut api di dadaku. Aku ingin berteriak, membanting ponsel, dan menghapus semua jejaknya dari hidupku. Tapi aku memilih cara yang lebih elegan. Aku memilih balas dendam yang lembut.
Aku menyusun sebuah pesan. Pesan yang sederhana, tapi menusuk. Pesan yang akan menghantuinya di setiap meeting, di setiap pitching, di setiap malam yang sunyi.
Aku tidak mengirimkannya.
Aku bertemu dengannya di kafe favorit kami. Hujan tetap turun, membasahi jalanan dan hatiku. Dia tampak terkejut, bingung, bahkan sedikit takut.
"Aku tahu," kataku, menatap matanya yang berkilat.
Dia mencoba menjelaskan, mencari pembenaran. Aku tidak membiarkannya.
Aku bangkit, meninggalkan kopi yang belum kusentuh. Aku tersenyum, senyum yang dingin dan penuh arti.
"Selamat tinggal, Arya."
Aku berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan dia dengan rahasia yang kini bukan lagi rahasia. Aku meninggalkan dia dengan penyesalan yang akan menghantuinya selamanya. Aku meninggalkannya dengan pesan yang tak terkirim, dengan kata-kata yang tak terucap.
Dan aku tahu, jauh di lubuk hatiku, bahwa ini adalah akhirnya. Akhir yang kosong, tapi... puas.
Dia akan terus mencari notifikasi dariku, selamanya bertanya-tanya apa yang akan kukatakan selanjutnya.
…Dan dia tidak akan pernah tahu.
You Might Also Like: 100 Kekurangan Sunscreen Mineral Lokal