Seru Sih Ini! Aku Mati Di Era Dinasti, Lalu Hidup Lagi Di Kontak Favoritmu
Aku Mati di Era Dinasti, Lalu Hidup Lagi di Kontak Favoritmu
Malam itu kelam. Bukan sekadar gelap, tapi kelam yang merayapi jiwa, menyisakan dingin yang menusuk tulang. Salju turun, mengotori halaman istana dengan noda merah darah yang memudar perlahan. Aku terbaring, merasakan napas terakhir terembus dari bibir yang membiru. Pedang dingin itu menembus jantungku, dipersembahkan oleh dia.
Lalu, semuanya menjadi putih. Seputih lembaran kosong, seputih kain kafan.
Aku terbangun.
Bukan di istana megah dengan ukiran naga emas, bukan di ranjang sutra bertabur permata. Melainkan di sebuah kamar sempit, dengan dinding bercat biru pudar dan aroma kopi instan yang menyengat. Sebuah layar persegi panjang bersinar di hadapanku.
Ponsel.
Nama 'Li Wei' tertera di sana, berkedip-kedip.
Dia.
Li Wei, sang pangeran yang kucintai, yang kubenci, yang membunuhku. Kini namanya terpampang di kontak favoritku di dunia yang asing ini. Dunia dengan kendaraan beroda, dengan gedung-gedung pencakar langit, dengan orang-orang yang berbicara dengan suara-suara aneh dari kotak-kotak kecil.
Awalnya aku linglung. Bagaimana mungkin roh seorang selir mati bisa terperangkap di dalam… benda ini? Bagaimana mungkin aku bisa merasakan kehadirannya begitu kuat, bahkan melalui jarak ruang dan waktu?
Li Wei di dunia ini adalah seorang CEO muda yang dingin dan kejam. Tampan, sukses, dan menyimpan rahasia kelam di balik senyumnya yang menawan. Aku tahu itu, karena aku merasakannya. Kepingan-kepingan masa lalu mulai bermunculan, mimpi-mimpi aneh yang membawaku kembali ke istana, ke intrik berdarah, ke malam di mana ia menusukku dengan pedangnya.
Kami bertemu.
Pandangannya menusuk, seolah mengenalku, namun juga asing. Ada percikan api kebencian dan hasrat yang sama seperti dulu, di bawah terangnya lampu neon kota ini. Aku tahu, dia juga merasakan sesuatu. Ikatan kami, yang terjalin melalui darah dan air mata, tidak bisa diputuskan hanya karena kematian.
Dupa memenuhi udara di apartemenku, bercampur dengan aroma parfumnya yang mahal. Air mata mengalir di antara asapnya, menorehkan jalan setapak kesedihan di pipiku. Aku melihatnya, melihat kilatan penyesalan di matanya.
Rahasia itu perlahan terkuak. Bukan hanya aku yang bereinkarnasi. Dia juga. Tapi dia ingat. Dia mengingat pengkhianatan, intrik, dan malam berdarah itu. Dia mengingat alasan kenapa dia membunuhku.
Aku bukan selir polos yang dia kira. Aku adalah mata-mata, dikirim untuk menghancurkan kerajaannya dari dalam. Aku mencintainya, tapi kesetiaanku pada klanku lebih besar. Aku mengkhianatinya.
Janji di atas abu diukir dalam benakku. Janji untuk membalas dendam.
Dan sekarang, aku akan menepatinya.
Aku membalas dendam dengan tenang. Tanpa amarah, tanpa teriakan. Hanya perhitungan dingin yang menusuk jantung bisnisnya, menghancurkan reputasinya, merobek topengnya hingga memperlihatkan monster yang tersembunyi di baliknya.
Aku menggunakan perasaannya untuk melawannya. Aku membuatnya jatuh cinta padaku, sekali lagi. Dan ketika dia sudah sepenuhnya percaya padaku, aku menghancurkannya.
Malam terakhir, dia berlutut di hadapanku, air mata membasahi pipinya. Dia memohon ampun. Dia memohon cinta.
Tapi hatiku sudah membeku. Beku oleh penantian yang panjang, oleh kebencian yang mendalam, oleh kematian yang tidak pernah bisa dilupakan.
Aku menatapnya, dengan tatapan sedingin salju yang menutupi istana malam itu.
"Ini... balasan dari hati yang terlalu lama menunggu," bisikku, sebelum meninggalkan dia di dalam kegelapannya sendiri.
Dan ketika aku berjalan menjauh, aku tahu, kutukan kita belum berakhir.
You Might Also Like: 5 Rahasia Mimpi Melihat Penyu Simak