Drama Abiss! Bisikan Yang Membunuh Di Tengah Malam
Hujan turun di atas makam. Bukan rintik biasa, melainkan curahan air mata langit yang tumpah ruah, seolah ikut berduka atas jiwa yang tak tenang. Sunyi. Hening. Hanya suara air menampar batu nisan, dan sesekali lolongan anjing liar dari kejauhan.
Di antara pusara yang berlumut, sebuah bayangan berkelebat. Bukan bayangan manusia. Ia adalah Mei, atau tepatnya, sisa-sisa Mei. Arwahnya terikat, tertambat pada dunia yang ditinggalkannya terlalu dini. Dia meninggal dengan lidah kelu, kebenaran terkunci rapat di dalam hatinya yang kini telah membeku.
Setiap malam, Mei kembali. Bukan untuk menakut-nakuti, bukan untuk membalas dendam, meski api amarah sempat membara di dadanya yang tak lagi bernyawa. Dia kembali untuk mencari kedamaian. Untuk menuntaskan urusan yang menggantung, seperti benang kusut yang tak bisa diurai.
Rumah tua tempat dia dulu tinggal kini terasa dingin dan asing. Bayangan masa lalu menari-nari di dinding, memperlihatkan adegan-adegan bahagia yang kini terasa bagai mimpi buruk. Ia berjalan melewati lorong-lorong gelap, menyentuh benda-benda yang dulu begitu akrab, kini terasa hampa.
Di ruang kerja, di mana ayahnya menghabiskan sebagian besar waktunya, Mei merasakan sesuatu. Aura berat, sesak. Di balik tumpukan buku kuno, sebuah kotak kayu tersembunyi. Kotak itu terkunci. Mei, dengan kekuatan arwahnya, mencoba membukanya. Gagal. Frustrasi.
Ia kemudian beralih ke mimpi. Mimpi orang-orang yang dulu dekat dengannya. Ibunya, yang selalu menyayanginya. Adiknya, yang selalu mengaguminya. Dan... ayahnya, yang menyimpan terlalu banyak rahasia.
Di dalam mimpi ayahnya, Mei melihat KEBENARAN. Bukan kematiannya yang tragis, bukan perebutan warisan, bukan pula cinta terlarang. Tetapi... sebuah kesalahpahaman. Sebuah kebohongan kecil yang tumbuh menjadi jurang pemisah. Ayahnya, yang selalu terlihat dingin dan keras, ternyata menyimpan penyesalan terdalam. Ia menyalahkan diri sendiri atas kematian Mei.
Kotak kayu itu berisi surat wasiat yang belum sempat diubah. Di dalamnya, ayahnya mewariskan seluruh hartanya untuk Mei, bukan hanya sebagian. Sebuah bukti cinta yang terlambat disampaikan.
Mei akhirnya mengerti. Apa yang ia cari bukanlah hukuman bagi orang-orang yang menyakitinya. Ia hanya ingin ayahnya tahu bahwa ia memaafkannya. Ia hanya ingin ibunya dan adiknya tahu bahwa ia mencintai mereka. Ia hanya ingin DAMAI.
Di pagi yang remang, saat mentari mulai menyinari bumi, Mei kembali ke makamnya. Hujan telah berhenti. Langit biru. Burung-burung berkicau riang. Ia merasakan beban yang selama ini menghimpit dadanya perlahan menghilang.
Di bawah batu nisan bertuliskan namanya, sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya yang pucat. Surat wasiat itu, dengan entah bagaimana caranya, kini berada di tangan adiknya.
Dan dia tahu... mereka akhirnya tahu…
You Might Also Like: Harus Baca Tangisan Yang Menjadi Teman