TOP! Aku Terbiasa Dihormati, Tapi Kau Membuatku Belajar Rendah Hati
Hujan Jakarta membasahi jendela kamarku, sama basahnya dengan hatiku saat ini. Di layar ponselku, notifikasi terakhirmu: "Aku baik-baik saja." Sebuah kebohongan yang bahkan aroma kopi pahit di cangkirku pun tahu. Dulu, aku terbiasa dengan pujian, dengan hormat. Dunia berputar di sekelilingku, seorang CEO muda, pewaris tahta bisnis yang tak tertandingi. Lalu, kau datang.
Xiao Qian.
Namamu seperti mantra yang diam-diam meruntuhkan benteng keangkuhanku. Pertemuan kita klise: Aku menumpahkan kopi mahal ke gaun sutra-mu di lobi hotel. Kau hanya tersenyum tipis, mengabaikanku, dan memesan es kopi tanpa gula. Aku, yang terbiasa dilayani, tiba-tiba merasa...kecil.
Awalnya, aku penasaran. Kemudian, terobsesi. Kita mulai berkencan. Kau, seorang seniman dengan studio berantakan dan mimpi setinggi langit. Aku, pria yang terbiasa dengan kesempurnaan, mendapati diriku nyaman dengan kekacauan yang kau ciptakan. Kau membuatku tertawa. Kau membuatku mempertanyakan segalanya. Kau membuatku...RENTAH HATI.
Kita menghabiskan malam di atap gedung, menatap bintang-bintang palsu yang tertutupi polusi kota. Kita berbagi rahasia di kafe-kafe remang, diiringi alunan jazz yang menyayat hati. Kita bertukar pesan tengah malam, obrolan yang kini hanya menjadi sisa kenangan yang tak terkirim.
Lalu, tiba-tiba, kau menghilang.
Tanpa penjelasan. Tanpa alasan. Hanya keheningan yang menggelegar di telingaku. Aku mencari. Aku bertanya. Aku bahkan menyewa detektif pribadi. Tidak ada jejak. Kau seolah ditelan bumi.
Waktu berlalu, tapi bayanganmu tetap menghantuiku. Aku kembali ke rutinitasku, menjadi CEO yang dingin dan kejam seperti sedia kala. Tapi, di balik topeng kesuksesan, ada kekosongan yang menganga. Aku mencoba melupakanmu, tapi setiap tetes hujan, setiap aroma kopi, setiap lagu jazz mengingatkanku padamu.
Aku menemukan secarik kertas di antara buku-buku lamaku. Sebuah lukisan sketsa diriku, tertidur di sofa studimu. Di belakangnya, tertulis: "Aku tidak bisa bersamamu. Rahasiaku terlalu besar untuk ditanggung. Maaf."
RAHASIA.
Selama ini, aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri hingga tidak menyadari bahwa kau menyembunyikan sesuatu. Aku menelusuri masa lalumu, menggali informasi dari teman-temanmu, dari keluargamu. Akhirnya, aku menemukan kebenaran yang MEMILUKAN.
Kau menderita penyakit yang menggerogoti tubuhmu secara perlahan. Kau tahu kau tidak akan lama. Kau memilih untuk pergi daripada membebaniku dengan kesedihan.
BALAS DENDAM LEMBUTKU:
Aku membeli studimu. Aku mendirikan galeri seni atas namamu. Aku memamerkan lukisan-lukisanmu ke seluruh dunia. Aku memastikan bahwa namamu akan selalu diingat.
Aku mengirimkan pesan terakhir ke nomor teleponmu yang sudah tidak aktif: "Aku tahu. Aku mengerti. Dan aku akan mencintaimu, selamanya."
Aku tersenyum. Senyum pahit yang menyembunyikan lautan air mata.
Kemudian, aku menghapus semua fotomu dari ponselku.
Aku menutup pintu masa lalu.
Dan aku pergi.
Ke mana? Itu bukan urusanmu.
You Might Also Like: Inspirasi Skincare Lokal Dengan Sophora